Adat istiadat pengantin jawa sesungguhnya bersumber dari tradisi
kraton. Dengan terciptanya adat istiadat perkawinan yang mangandung
nilai-nilai luhur itu lahir pula seni tat arias pengantin dan model
busana pengantin yang beraneka ragam. Bersama lewatnya waktu dan
perkembangan zaman, adat istiadat perkawinan tersebut lambat laun
menembus keluar tembok kraton. Betapapun kemudian dianggap telah menjadi
milik masyarakat, namun masih banyak calon pengantin yang merasa
ragu0ragu memakai busana pengantin basahan (bahu terbuka) yang konon
hanya diperkenankan bagi mereka yang berkerabat dengan kraton.
Mengacu
pada kenyataan ini, akhir-akhir ini sering diselenggarakan sarasehan
atau lokakarya berkenaan dengan adat istiadat perkawinan oleh kerabat
kraton Yogyakarta, Surakarta dan Mangkunegara, yang direstui oleh para
Sultan dari kraton masing-masing. Tujuannya antara lain agar masyarakat
merasa mantap mendadani calon pengantin dengan gaya kraton, sekaligus
supaya tidak terjadi kekliruan dalam penerapannya. Turun tangannya pihak
kraton untuk memasyaraktkan secara lebih luas adat istiadat perkawinan
serta tata rias dan busana kebesaran, menandakan sah dilakukan orang
biasa.
Pada dasarnya banyak persamaan yang menyangkut upacara
perkawinan maupun tata rias dan busana kebesaran yang dipakai kraton
Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegara. Perbedaan yang ada ada bisa
dikaatkan merupakan identitas masing-masing yang menonjolkan ciri khusus
dan justru memperkaya khazanah budaya. Tata rias dan busana kebesaran
pengantin Jawa diwakili oleh:
1. Pengantin Yogya Corak Kebesaran
2. Pengantin Yogya Putri
3. Pengantin Solo Basahan
4. Pengantin Solo Putri
Sedangkan serangkaian upacara dirumuskan sebagaimana secara umum dan praktis sudah biasa dilaksanakan.
RANGKAIAN UPACARA ADAT
Srah-Srahan (Pasok Tukan)
Setelah
dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang
perjodohan putrid-putrinya, maka dilakukanlah upacara srah-srahan atau
disebut juga pasok tukon. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon
pengantin putra menyerahkan barang-barang tertentu kepada calon
pengantin putri sebagai peningset, artinya tanda pengikat. Lazimnya
merupakan pakaian lengkap, sejumlah uang, adakalanya disertai cincin
emas untuk keperluan tukar cincin.
Pengitan (Songkeran)
Menjelang
saat perkawinan bagi calon pengantin putri diadakan pingitan atau
songkeran selama 5 hari yang kemudian menurut perkembangan jaman cukup 3
hari. Selama itu calonpengantin putri dilarang keluar rumah dan tidak
boleh bertemu dengan calon pengantin putra. Seluruh tubuh calon
pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, kadang-kadang dianjurkan
berpuasa. Semuanya bertujuan agar pada saat nanti penampilan pengantin
putrid akan membuat pangling.
Pasang Bleketepe/ Tarup
Upacara
pasnag tarup diawali dengan pemasangan bleketepe (anyaman daun kepala)
yang dilakukan oleh orangtua calonpengantin putrid, ditandai pula dengan
pengadaan sajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama
upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang
mengandung arti religious, agar keseluruhan upacara berlangsung dengan
selamat tanpa hambatan. Hiasan tarup yang terdiri dari daun-daunan dan
buah-buahan yang disebut tetuwuhun juga memiliki nilia-nilai simbolik.
Siraman
Makan
upacara ini ialah untuk menggambarkan secara simbolis persiapan dan
pembersihan diri dari kedua calon mempelai di tempat masing-masing, baik
lahir maupun batin. Sekaligus juga merupakan media permohonan doa restu
dari para pinisepuh. Peralatan yang digunakan : kembang setama, gayung,
air untuk mandi dari 7 sumur, klenting (kendi), bokor.
Urutan upacara siraman tersebut sebagai berikut:
- Orang tua calon mempelai putrid mengambil air dari 7 sumur (tuk), lalu menuangkan ke tempat kembang setaman
-
Orang tua calon pengantin putrid mengambil air 7 gayung untuk
diserahkan kepada panitia yang akan mengantarkan ke kediaman calon
mempelai pria.
- Upacara dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pnisepuh
-
Siraman dilakukan pertamakali oleh orangtua Calon pengantin dilanjutkan
oleh para pinsepuh, dan terakhir oleh ibu calon pengantin putrid
menggunakan kendi yang kemudian dipecahkan ke lantai sambil mengucapkan
“saiki wis pecah pamore”
Paes/Ngerik
Upacara yang
dilaksanakan sesudah siraman ini sebagai lambing usaha memperindah diri
lahir dan batin. Pada upacara ini paes-nya baru pada tahap ngalup-alubi
(pendahuluan), untuk mempermudah paes selengkapnya pada saat akan
dilaksanakan temu. Pelaksanaan paes ini di kamar calon mempelai wanita
ditunggui oleh para ibu-ibu pinisepuh. Para ibu tersebut sambil
menyaksikan paes memberikan restu dan memanjatkan doa agar dalam upacara
pernikahan nanti berjalan lancer, khidmat dan selamat. Semoga pula
didalam kehidupan berkeluarga nanti dapat rukun mimi lan mintano,
dilimpahkan keturuan dan rezeki.
Dodol dawet
Ibu
calon mempelai putrid bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan
dipayungi oleh Bapak calon mempelai putri sambil berkata :
“laris…larissss.” Upacara ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan
yang akan diselenggarakan dikunjungi tamu yang melimpah bagaikan cendol
dawet yang laris terjual. Para tamu tersebut datang memenuhi undangan
guna memberikan doa restu. Pelaksanaan penjualan dawet dihalaman rumah.
Keluarga, handai taulana sebagai pembeli dengan tanda pembayaran kreweng
(pecahan genteng).
Selanjutnya upacara potong tumpeng dan
dulangan. Maknanya adalah ndulang (menyuapi) untuk yang terakhir kali
bagi putri yang esok hari akan menikah. Dilanjutkan dengan melepas ayam
dara diperempatan jalanoleh petugas, serta mengikat ayam lancur dikaki
kursi mempelai putrid. Maknanya
adalah sebagai lambang melepas putrinya yang akan mengarungi bahtera hidup mandiri, hidup berkeluarga.
Upacara
selanjutnya adalah menanam rikmo mempelai putrid dihalaman depan, dan
pasang tawuh (terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Makna
upacara ini adalah mendem sesuker pengantin supaya dijauhkan dari aral
melintang dan didekatkan dengan kebahagian.
Midodareni
Malam
hari sebelum pernikahan berlangsung merupakan malam terakhir bagi kedua
calon mempelai sebagai bujang dan dara. Pada malam ini dilakukan dua
tahap upacara di tempat kediaman calon mempelai putrid. Tahap pertama
adalah upacara nyantrik, untuk meyakinkan bahwa calon mempelai pria akan
hadir pada upacara pernikahan pada saat yang telah ditetapkan.
Kedatangan calon mempelai pria diantar oleh wakil orang tua, para
sesepu, keluarga serta kerabat, untuk menghadap calon mertua. Tahap
kedua adalah menunjukkan bahwa keluarga calon mempelai wanita sudah siap
melaksanakan upacara pernikahan dan upacara panggih pada esok harinya.
Calon mempelai wanita malam ini sudah dirias sebagaimana layaknya.
Setelah beberapa saat menerima dia restu dari para hadirin, calon
mempelai wanita diantar kemabli masuk kamar pengantin, istirahat untuk
persiapan upacara esok pagi. Sedangkan para pinisepuh anggota keluarga,
handai taulan serta kerabat melakukan lek-lekan atau tuguran. Maksudnya
untuk mendapatkan berkat dan rahmat Tuhan agar acara selanjutnya
berjalan lancar dan selamat.
Upacara pernikahan
Upacara
ini merupakan upacara puncak dan paling utama yang diselenggarakan
menurut keyakinan agama penganutnya untuk meresmikan pernikahan kedua
mempelai. Bagi pemeluk agama Islam pernikahan bisa dilangsungkan
dimesjid atau kediaman calon mempelai putri dengan memanggil petugas KUA
bagi pemeluk agama Kriten dan Katolik pernikahan dilangsungkan di
gereja. Ketika pernikahan berlangsung mempelai putra tidak diperkenankan
memakai keris. Setelah upacara pernikahan secara keagamaan selesai
barulah boleh dilangsungkan upacara adat, yakni upacara panggih atau
temu.
Upacara Panggih (Temu)
Upacara ritual ini
secara tradisional berurutan secara tetap, dan dimungkinkan hanya dengan
penambahan variasi sesuai kekhususan daerah di Jawa Tengah. Upacara
diawali dengan kedatangan rombongan mempelai pria membawa sanggan, yang
berisi gedang ayu suruh ayu, melambangkan keinginan untuk selamat atau
sedyu rahayu. Sanggan tersebut diserahkan kepada Ibu Mertua sebagai
penebus. Upacara dilanjutkan dengan penukaran kembang mayang. Konon
sebagai peristiwa kehidupan yang menyangkut suatu formalitas peresmian
dalam masyarakat diperlukan kesaksian. Menurut sejarahnya fungsi kembang
mayang adalah sebagai saksi, juga sebagai penjaga dan penangkal bahaya
(tolak bala). Kembang mayang yang nantinya setelah upacara selesai akan
ditaruh diperempatan jalan, mempunyai arti bahwa setiap orang yang
melewati jalan tersebut menjadi tahu di daerah itu baru saja ada upacara
perkawinan. Secara tidak langsung setiap orang yang lewat menjadi saksi
atas perkawinan tersebut. Upacara panggih atau Tenku,, yakni
dipertemukan mempelai putrid dan mempelai putra berlangsung sebagai
berikut:
Balangan Gantal/sirih
Pada saat yang
sama mempelai pria dan mempelai wanita dibimbing menuju titik panngih.
Pada jarak kurang lebih lima langkah, masing-masing mempelai saling
melontarkan sirih atau gantal, yang telah dipersiapkan. Arahlemparan
pengantin pria ditujukan ke dada pengantin wanita, sedangkan pengantin
wanita kea rah paha pengantin pria. Ini merupakan perlambang cinta kasih
pengantin pria terhadap istrinya, sebaliknya pengantin wanita
menujukkan bakti kepada suami.
Wijik
Mempelai
pria menginjak telur ayam sampai pecah kemudian mempelai wanita
memabasuh kaki mempelai kaki mempelai pria dengan air kembang setaman.
Kemudian dikeringkan dengan handuk. Upacara ini sebagai lambang kesetian
istri terhadap suami, selalu berbakti dengan senang hati, dan memaafkan
segala hal yang kurang baik yang terbawa pulang oleh suami. Setelah
wijik dilanjutkan dengan pagelaran yang maksudnya agar sang suami betah
dirumah. Diteruskan dengan sembah sungkem mempelai wanita terhadap
suami.
Pupuk
Dalam upacara ini Ibu mempelai
wanita mengusap ubun-ubun mempelai pria 3 kali dengan air kembang
setaman, sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menuntutnya
sebagai suami dari putrinya.
Sinduran/binayang
Kedua
mempelai dijajarkan (mempelai pria di sebelah kanan) lalu diselimuti
dengan selembar selendang sindur oleh Bapak dan Ibu mempelai wanita.
Selanjutnya diiringi secara tertib dan teratur binayang menuju
pelaminan.
Bobot timbang
Kedua mempelai duduk di
pangkuan Bapak mempelai wanita. Mempelai wanita disebelah paha kiri,
mempelai disebelah paha kanan, disertai dialog antara Ibu dan Bapak,
mempelai wanita.
Ibu : “Abot endi bapakne?”
Bapak : “podo, podo abote.”
Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama beratnya.
Guno koyo- kacar kucur
Pemberian
guno koyo atau kacar kucur ini melambangkan pemberian nafkah yang
pertama kali dari suami kepada istri. Pelaksanaannya kacang tolo merah,
kedelai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh
didalam klasa bongko, oleh mempelai pria ditumpahkan kepangkuan mempelai
wanita. Pada pangkuan mempelai wanita telah dipersiapkan serbet atau
sapu tangan yang besar. Setelah itu guno koyo atau kacar kucur dibungkus
oleh mempelai wanita dan disimpan.
Dahar klimah
Upacara
ini merupakan makan bersama yang pertama kali setelah menjadi suami
istri. Kedua mempelai saling menyuapi nasi kuning (punar) dan setelah
itu saling memberikan minum untuk melambangkan saling asih antara suami
istri.
Titik pitik/ Besan mertuwi
Dalam
kebudayaan tardisional Jawa Tengah, pada saat upacara panggih, orang tua
mempelai pria tidak hadir. Setelah upacara panggih selesai barulah
orang tua mempelai pria datang. Acara ini disebut mertuwi (menengok)
atau titi pitik. Kedatangan orang tua mempelai pria disambut oleh orang
tua mempelai wanita dan didudukkan di sebelah kanan mempelai.
Mbukak sawah
Ngunjuk rujak dengan pertanda mantu putrinya yang pertama disertai dialog antara Ibu dan Bapak mempelai wanita.
Ibu : “Piye rasane Pak?”
Bapak : “Seger sumyah Bu.”
Sungkeman Ngabekkan
Setalah
kehadiran orangtua mempelai pria diadakan upacara sumkeman/ngabekten.
Kedua mempelai berlutut untuk menyembah kedua belah pihak orangtua
mempelai pria. Upacara ini dimaksudkan sebagai tanda kedua mempelai
tetap berbakti dan hormat serta menyampaikan terima kasih sekaligus
mohon doa restu kepada orangtua. Pada acara sungkeman ini keris mempelai
pria dilolos/dilepaskan. Selesai acara sungkeman kedua mempelai kembali
bersanding dipelaminan didampingi kedua belah pihak orangtua, untuk
menerima ucapan selamat dari para hadirin.
Sebelum mulai merias,
bersihkan wajah dengan susu pembersih dan penyegar yang sesuai dengan
kulit. Setelah itu, bentuklah penunggul dan penipis untuk pedoman dalam
membuat jahitan. Dengan mangir Putri ayu, jahita dibuat dengan cara
menarik sudut mata bagian luar keatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar